“Bu Lita, pemegang saham kami melakukan RUPS tanggal 27 Juli 2025 lalu untuk mengubah maksud dan tujuan perusahaan. Tapi tim kami lupa mengaktakan Berita Acaranya, dan baru sadar hari ini (28 Agustus). Kalau begitu, apakah keputusan yang kemarin sah?”
Kasus seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Dalam praktik sehari-hari, perusahaan bisa saja sudah melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan baik, semua agenda berjalan lancar, keputusan diambil dengan suara mayoritas, dan suasana rapat tertib. Namun setelah itu, administrasi hukumnya justru terlewat. Berita Acara RUPS tidak segera dibuat dalam akta notaris, atau akta sudah dibuat tapi lupa dilaporkan kepada Menteri Hukum. Alhasil, muncul kebingungan: sahkah keputusan tersebut?
Mari kita bedah bersama.
Keabsahan Keputusan RUPS Secara Internal
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), setiap keputusan RUPS yang diambil sesuai dengan ketentuan undang-undang dan Anggaran Dasar adalah sah secara internal. Artinya, selama RUPS dilaksanakan dengan memenuhi syarat formil (panggilan, quorum, agenda, hak bicara dan hak suara pemegang saham), maka keputusan yang dihasilkan mengikat seluruh pemegang saham, baik yang hadir maupun yang tidak hadir.
Keabsahan internal ini berlaku sejak tanggal pelaksanaan RUPS, kecuali RUPS sendiri menentukan tanggal lain. Jadi, kalau rapat diadakan pada 27 Juli 2025, maka secara internal keputusan berlaku sejak hari itu.
Namun, keabsahan internal saja tidak cukup. Agar keputusan RUPS memiliki daya laku keluar (outward effect), khususnya untuk perubahan Anggaran Dasar, perusahaan wajib melalui prosedur pengaktaan dan pelaporan kepada Menteri Hukum.
Pentingnya Pengaktaan dan Pelaporan
Mengapa harus diaktakan? Karena Anggaran Dasar adalah dokumen otentik yang hanya dapat dibuat dalam bentuk akta notaris. Notaris berperan menuangkan keputusan RUPS ke dalam akta, yang kemudian menjadi dasar pengajuan perubahan kepada Menteri Hukum.
Mengapa harus dilaporkan? Karena tanpa pengesahan atau pencatatan dari Menteri Hukum, perubahan Anggaran Dasar tidak memiliki kekuatan hukum terhadap pihak ketiga. Misalnya:
-
Bank akan menolak membuka rekening dengan maksud dan tujuan usaha baru.
-
Vendor atau supplier akan meragukan legalitas perusahaan.
-
Investor bisa mempertanyakan status hukum perubahan tersebut.
Dengan kata lain, pengaktaan dan pelaporan adalah jembatan agar keputusan RUPS yang sah secara internal juga sah secara eksternal.
Tenggat Waktu yang Wajib Diperhatikan
UUPT memberikan batas waktu yang ketat:
-
Pengaktaan
-
Keputusan RUPS harus dimuat dalam akta notaris paling lambat 30 hari sejak tanggal rapat.
-
Jika lewat, keputusan tidak boleh lagi diaktakan.
-
-
Pelaporan kepada Menteri
-
Akta notaris tersebut wajib dilaporkan ke Menteri Hukum paling lambat 30 hari sejak tanggal akta.
-
Jika terlambat, perubahan dalam akta dianggap tidak berlaku bagi pihak ketiga.
-
Dua tahap ini saling berhubungan. Gagal di salah satunya, keputusan RUPS tidak dapat diterima secara resmi oleh negara.
Skenario dalam Praktik
Mari kita terapkan aturan tersebut pada kasus yang terjadi.
Skenario 1 – Tidak Diaktakan Sama Sekali
-
27 Juli 2025 → RUPS perubahan maksud dan tujuan.
-
26 Agustus 2025 → lewat 30 hari, belum dibuat akta.
-
28 Agustus 2025 → baru disadari.
Akibat: Keputusan tetap sah secara internal, tetapi tidak bisa diproses di AHU. Karena sudah lewat 30 hari, notaris tidak boleh lagi membuat akta perubahan Anggaran Dasar.
Skenario 2 – Sudah Diaktakan, Tapi Belum Dilaporkan
-
27 Juli 2025 → RUPS perubahan maksud dan tujuan.
-
23 Agustus 2025 (hari ke-28) → dituangkan dalam akta notaris.
-
22 September 2025 → batas akhir pelaporan ke Menteri (30 hari sejak akta).
Akibat: Perusahaan masih punya waktu hingga 22 September 2025 untuk melaporkan ke Menteri. Selama belum lewat, keputusan tetap dapat dicatat resmi.
Apa yang Terjadi Jika Tenggat Terlewat?
Apabila pengaktaan dan pelaporan sama-sama terlewat, maka secara hukum perusahaan tidak dapat lagi mendaftarkan perubahan tersebut. Konsekuensinya, satu-satunya jalan adalah mengadakan RUPS baru dengan agenda meratifikasi keputusan sebelumnya.
RUPS ratifikasi ini penting agar ada dasar hukum baru yang bisa dituangkan dalam akta notaris dan diajukan ke Menteri. Tanpa ratifikasi, perusahaan akan mengalami hambatan legalitas yang cukup serius.
Dampak Bagi Perusahaan
Lupa mengaktakan dan melaporkan keputusan RUPS bisa menimbulkan berbagai risiko:
-
Keterlambatan Bisnis
Rencana ekspansi atau perubahan bidang usaha tertunda karena dokumen tidak diakui. -
Masalah Perbankan
Bank biasanya meminta Anggaran Dasar terbaru untuk fasilitas kredit. Jika tidak diakui Menteri, fasilitas bisa ditolak. -
Risiko Hukum
Pihak ketiga bisa meragukan keabsahan perjanjian atau transaksi yang dilakukan berdasarkan Anggaran Dasar yang belum tercatat resmi. -
Biaya Tambahan
Perusahaan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengadakan RUPS ulang, membayar notaris, serta biaya pengumuman dan pelaporan.
Best Practice agar Tidak Terulang
Untuk menghindari kejadian serupa, perusahaan dapat melakukan langkah-langkah pencegahan berikut:
-
Siapkan Checklist RUPS: dari undangan, daftar hadir, risalah, hingga pengaktaan dan pelaporan.
-
Koordinasi dengan Notaris Sejak Awal: pastikan notaris sudah disiapkan sebelum RUPS digelar.
-
Monitoring Tenggat Waktu: catat batas 30 hari pengaktaan dan 30 hari pelaporan di kalender perusahaan.
-
Libatkan Tim Legal Internal: pastikan setiap keputusan RUPS ditindaklanjuti, bukan hanya dicatat.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:
-
Keputusan RUPS sah secara internal jika prosedur rapat sesuai aturan.
-
Agar sah terhadap pihak ketiga, keputusan tersebut wajib diaktakan dalam 30 hari dan dilaporkan ke Menteri dalam 30 hari sejak akta.
-
Jika tenggat waktu terlewat, perusahaan harus mengadakan RUPS baru untuk meratifikasi keputusan lama.
Dengan memahami alur ini, perusahaan dapat lebih berhati-hati dan memastikan bahwa setiap keputusan penting tidak hanya sah secara internal, tetapi juga kuat secara hukum dan dapat diakui oleh pihak luar.